Namaku Dimas. Aku tinggal di kota jogja. Ceritaku ini terjadi pada tahun 2001. Pada waktu itu aku masih kuliah di sebuah PTN terkenal di jogja. Aku ambil cuti kuliah untuk bekerja di sebuah radio swasta yang baru berdiri. Waktu itu aku bekerja sebagai kru produksi. Pekerjaannya sangat sederhana yaitu merekam lagu, membuat iklan radio, dan mempersiapkan segala hal yang sifatnya off-air. Pemilik radio itu namanya Bapak Damian. Dia mempunyai istri yang sangat cantik. Aku biasa menyebutnya dengan Ibu Titis.
Ibu Titis tingginya kira-kira 170cm, bahkan lebih tinggi dari suaminya. Ibu Titis bekerja di sebuah perusahaan swasta di jogja. Sejak pertama kali masuk kerja di radio itu, aku udah kepincut dengan Ibu Titis. Ibu Titis ini berparas sangat cantik, mungkin sensual. Tinggi kira-kira 170cm, berat 50kg. Payudaranya tidak besar, sama sekali tidak besar. Tapi justru payudaranya yang kecil itu yang membuatku sangat penasaran. Aku selalu terobsesi dengan payudara yang kecil.
Ibu Titis suka memakai pakaian yang seksi. Baju-bajunya selalu tanpa lengan dan sering memakai rok yang sedikit di atas lutut. Pernah suatu ketika, aku sedang santai di kantor karena tidak ada order pembuatan iklan. Aku hanya duduk di balik meja marketing. Ibu Titis baru pulang dari kantornya. Aku perhatikan beliau turun dr mobil dan ketika melintas di dekatku
“Selamat siang, Bu. Jam segini kok udah pulang Bu?”, sapaku.
Ibu Titis tersenyum.
“Iya Mas. Ini mau nganter Bapak ke Bandara.”
Aku seketika merasa senang. Terus terang, aku ga suka ama bosku. Bawaannya cerewet mulu. Tapi aku mencoba bersikap biasa aja.
“Oh, rapat lagi ya bu di Jakarta?”, tanyaku asal-asalan.
“Iya, Mas. Mau nyelesein urusan frekuensi katanya.” Ibu Titis menjawab sambil berlalu dengan meninggalkan senyum yang sangat manis.
Tak berapa lama, Pak Damian dan Ibu Titis keluar dari rumah membawa beberapa koper.
“Mas, nanti malam jangan lupa matiin pemancarnya ya.”, pesan Pak Damian padaku. “Siap Pak”, jawabku sambil berlagak kayak prajurit.
“Hati2 pak”, sambungku lagi. Setelah beliau berdua pergi, aku masuk lagi ke ruang operator untuk ngecek properti. Iseng aja si benernya. Abis di kantor lagi sepi. Marketingnya pada keluar semua. Yang ada cuma 1 penyiar yang lagi bertugas, ama aku doang. Abis itu aku duduk lagi di meja marketing.
Ibu Titis tersenyum.
“Iya Mas. Ini mau nganter Bapak ke Bandara.”
Aku seketika merasa senang. Terus terang, aku ga suka ama bosku. Bawaannya cerewet mulu. Tapi aku mencoba bersikap biasa aja.
“Oh, rapat lagi ya bu di Jakarta?”, tanyaku asal-asalan.
“Iya, Mas. Mau nyelesein urusan frekuensi katanya.” Ibu Titis menjawab sambil berlalu dengan meninggalkan senyum yang sangat manis.
Tak berapa lama, Pak Damian dan Ibu Titis keluar dari rumah membawa beberapa koper.
“Mas, nanti malam jangan lupa matiin pemancarnya ya.”, pesan Pak Damian padaku. “Siap Pak”, jawabku sambil berlagak kayak prajurit.
“Hati2 pak”, sambungku lagi. Setelah beliau berdua pergi, aku masuk lagi ke ruang operator untuk ngecek properti. Iseng aja si benernya. Abis di kantor lagi sepi. Marketingnya pada keluar semua. Yang ada cuma 1 penyiar yang lagi bertugas, ama aku doang. Abis itu aku duduk lagi di meja marketing.
Selang 1 jam, Ibu Titis udah nyampe lagi di studio. Waktu ngliat, Ibu Titis cantik sekali. Bajunya merah berkerah agak rendah dan memakai kulot. Aku langsung kesengsem abis. Ibu Titis ga langsung masuk ke rumah tapi mampir dulu ke studio. Melihatku duduk Ibu Titis bertanya apakah semua order iklan sudah selesai. Aku jawab aja udah. Kupikir abis nanyain Ibu Titis langsung masuk ke rumah eh ternyata malah nyamperin ke mejaku. Pas nyampe di depanku, Ibu Titis meletakkan sikunya di meja dan meraih majalah yang ada. Posisi tubuhnya membungkuk di depanku. Seketika gaunnya terbuka sehingga aku dengan jelas melihat payudaranya yang kecil terpampang di depan mataku.
Ya ampun, ternyata ada juga payudaranya. Tanpa ba bi bu, penisku langsung berdiri. Pemandangan ini yang selalu kutunggu. Payudaranya masih tertutup beha putih tapi itu sudah cukup untuk membangkitkan penisku.
“Marketingnya lagi keluar semua, Mas?”
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena aku baru sadar kalo aku baru terbengong-bengong menyaksikan payudara istri bosku. Dan aku tau banget kalo Ibu Titis tau apa yang barusan aku lakukan. Aku malu setengah mati. Mukaku langsung terasa panas.
“Iya, Bu”, jawabku cepat sambil mengalihkan pandanganku.
“Nanti, Pak Min ijin ga masuk. Mas Dimas tolong bantuin beres-beres ruang siaran ya”, katanya sambil menegakkan tubuh dan berjalan menuju pintu. Aduh, Pak Min nih ijin melulu deh, umpatku dalam hati. Pak Min itu orang yang dipekerjakan untuk membereskan kantor, semacam OB gitu.
“Iya, Bu” jawabku lagi.
“Ya, udah. Ibu masuk dulu ya”, katanya lagi sambil berlalu dengan tetap memberikan senyum. Kali ini aku benar-benar deg-degan. Takut kalau-kalau Ibu Titis berpikir untuk mendepakku dari perusahaan. Sekali dilaporin ke suaminya, habislah aku.
Ah biarin aja lah. Kalo emang dipecat ya tidur aja di kost. Hehehe… Yang lebih memenuhi kepalaku justru payudara Ibu Titis yang tadi kulihat. Sumpah, indah banget. Ingin sekali aku menelanjangi Ibu Titis dan mengulum puting payudaranya. Aku membayangkan apa kira2 warna puting payudaranya. Ahh… Memikirkannya aja aku udah ngaceng gini.
“Marketingnya lagi keluar semua, Mas?”
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena aku baru sadar kalo aku baru terbengong-bengong menyaksikan payudara istri bosku. Dan aku tau banget kalo Ibu Titis tau apa yang barusan aku lakukan. Aku malu setengah mati. Mukaku langsung terasa panas.
“Iya, Bu”, jawabku cepat sambil mengalihkan pandanganku.
“Nanti, Pak Min ijin ga masuk. Mas Dimas tolong bantuin beres-beres ruang siaran ya”, katanya sambil menegakkan tubuh dan berjalan menuju pintu. Aduh, Pak Min nih ijin melulu deh, umpatku dalam hati. Pak Min itu orang yang dipekerjakan untuk membereskan kantor, semacam OB gitu.
“Iya, Bu” jawabku lagi.
“Ya, udah. Ibu masuk dulu ya”, katanya lagi sambil berlalu dengan tetap memberikan senyum. Kali ini aku benar-benar deg-degan. Takut kalau-kalau Ibu Titis berpikir untuk mendepakku dari perusahaan. Sekali dilaporin ke suaminya, habislah aku.
Ah biarin aja lah. Kalo emang dipecat ya tidur aja di kost. Hehehe… Yang lebih memenuhi kepalaku justru payudara Ibu Titis yang tadi kulihat. Sumpah, indah banget. Ingin sekali aku menelanjangi Ibu Titis dan mengulum puting payudaranya. Aku membayangkan apa kira2 warna puting payudaranya. Ahh… Memikirkannya aja aku udah ngaceng gini.
Singkat cerita, malamnya aku lagi-lagi harus lembur nungguin penyiar terakhir kelar. Gara-gara Pak Min nih. Bete juga nungguin ampe tengah malem kalo ga ngapa-ngapain. Aku masuk lagi ke ruang produksi. Masang headphone di telingaku. Aku puter aja musik tahun 80an. Lumayanlah, musiknya agak melow-melow gitu jadinya asik di dengerin sambil ngantuk. Kulirik jam tanganku, masih jam 11. Huh, masih 2 jam lagi. Lagu2 yang kuputar membuatku terbuai. Entah kenapa, bayangan payudara Ibu Titis tiba-tiba nyantol lagi di kepalaku. Tanpa bisa kutahan, senjataku segera mengacung memenuhi celanaku. Dudukku menjadi tidak tenang. Kuelus pelan senjataku yang masih terbalut celanaku. Kuperhatikan sejenak situasi sekitarku. Lampu di ruanganku sudah sejak tadi kumatikan sehingga tidak ada yang tau kalo aku masih ada di situ. Kualihkan pandanganku ke ruang siaran. Mbak Rani, penyiar terakhir hari ini, masih bercuap-cuap aja di depan miknya.
Aman, pikirku. Kubuka retsleting celanaku dan segera kuturunkan sedikit celanaku. Otomatis senjataku yang dari tadi tersekap di dalam mengacung dengan gagahnya. Kukocok-kocok pelan penisku sambil membayangkan payudara kecil Ibu Titis. Indah banget. Pengen rasanya menyentuh, meremas, mengulum putingnya. Beberapa lama aku terpejam sambil tanganku tetap mengocok penisku pelan. Aku bayangkan ibu Titis dengan rambutnya yang sebahu, bibirnya yang selalu merah. Aku ingin sekali bibir itu mengulum penis. Sesekali aku mendesah sambil menyebut Ibu Titis. Akhh… Ibu Titis…
Tiba-tiba di penisku ada benda lain yang menempel. Dan ketika kubuka mataku, kaget setengah mati karena ada tangan lain yang menyentuh penisku. Dan lebih kaget lagi karena itu adalah tangan Ibu Titis yang sedang berjongkok di samping kursi yang aku duduki. Spontan aku segera melepas tanganku dan mencoba menarik celanaku. Tapi tangan ibu Titis yang satunya menahanku.
“Dimas, biarian aja. Ibu juga pengen megang kok”, katanya sambil tersenyum.
“Ma…maaf bu…”, kataku terbata sambil tetep berusaha menarik celanaku.
“Dimas, biarin aja”, kata Bu Titis lagi.
“Sekarang mas Dimas tetep duduk aja dan jawab pertanyaan ibu”, perintahnya sambil tetep tangan kanannya menggenggam penisku. Kagetku berangsur pulih, aku mengangguk sambil berusaha menenangkan diri. Ibu Titis menggeser tubuhnya dan sekarang sudah berada tepat di depanku dalam posisi jongkok dengan tangannya tidak lepas dari penisku. Aku merasakan nikmat yang luar biasa ketika tangannya dengan halus meremas penisku.
“Menurut kamu, ibu cantik ga”, tanya ibu Titis dengan menatap mataku.
Aku bengong sesaat, tapi segera menganggukkan kepalaku.
“Ibu cantik”, jawabku pendek. Mendengar jawabanku ibu Titis tersenyum kecil sambil memutar tangannya di penis. Ahh… Sumpah rasanya luar biasa.
“Mas Dimas jg ganteng”, kata ibu Titis tapi kini tidak memandangku lagi. Matanya justru melihat ke penisku. Aku berusaha sepenuhnya menguasai diriku. Tiba-tiba lidahnya menjulur dan menjilat bagian belakang penisku dari pangkal sampai ke ujung. Oughh… Jilatannya menimbulkan sensasi yang luar biasa yang membuatku meregang menahan kenikmatan.
“dan, jangan panggil ibu lagi kecuali di depan bapak sama karyawan yang lain. Panggil aja Mbak. Ngerti!” sambungnya lagi.
“i…iya bu…Mbak”, jawabku pendek.
Tiba-tiba di penisku ada benda lain yang menempel. Dan ketika kubuka mataku, kaget setengah mati karena ada tangan lain yang menyentuh penisku. Dan lebih kaget lagi karena itu adalah tangan Ibu Titis yang sedang berjongkok di samping kursi yang aku duduki. Spontan aku segera melepas tanganku dan mencoba menarik celanaku. Tapi tangan ibu Titis yang satunya menahanku.
“Dimas, biarian aja. Ibu juga pengen megang kok”, katanya sambil tersenyum.
“Ma…maaf bu…”, kataku terbata sambil tetep berusaha menarik celanaku.
“Dimas, biarin aja”, kata Bu Titis lagi.
“Sekarang mas Dimas tetep duduk aja dan jawab pertanyaan ibu”, perintahnya sambil tetep tangan kanannya menggenggam penisku. Kagetku berangsur pulih, aku mengangguk sambil berusaha menenangkan diri. Ibu Titis menggeser tubuhnya dan sekarang sudah berada tepat di depanku dalam posisi jongkok dengan tangannya tidak lepas dari penisku. Aku merasakan nikmat yang luar biasa ketika tangannya dengan halus meremas penisku.
“Menurut kamu, ibu cantik ga”, tanya ibu Titis dengan menatap mataku.
Aku bengong sesaat, tapi segera menganggukkan kepalaku.
“Ibu cantik”, jawabku pendek. Mendengar jawabanku ibu Titis tersenyum kecil sambil memutar tangannya di penis. Ahh… Sumpah rasanya luar biasa.
“Mas Dimas jg ganteng”, kata ibu Titis tapi kini tidak memandangku lagi. Matanya justru melihat ke penisku. Aku berusaha sepenuhnya menguasai diriku. Tiba-tiba lidahnya menjulur dan menjilat bagian belakang penisku dari pangkal sampai ke ujung. Oughh… Jilatannya menimbulkan sensasi yang luar biasa yang membuatku meregang menahan kenikmatan.
“dan, jangan panggil ibu lagi kecuali di depan bapak sama karyawan yang lain. Panggil aja Mbak. Ngerti!” sambungnya lagi.
“i…iya bu…Mbak”, jawabku pendek.
Entah kenapa perasaan senang menyelimutiku. Dia adalah istri bosku. Gila neh! Dan lagi2 Mbak Titis menjilat penisku pelan. Aku hanya diam saja menikmati sensasinya. Mbak Titis kemudian memasukkan penisku lama ke dalam mulutnya. Lama sekali ditahan di dalam mulutnya sebelum Mbak Titis menaikturunkan mulutnya. Aku diam saja karena tidak tau harus ngomong apa. Mbak Titis pun masih asik dengan penisku di mulutnya. Sesekali bibirnya turun ke pelirku dan mengisap dengan kuat. Mimpiku jadi kenyataan.
Kulirik arlojiku, udah jam 24.40. Artinya 20 menit udah mau selesai siarannya. Aku agak panik karenanya. Tapi kenikmatan di penisku mengubur habis kepanikanku. Mbak Titis masih terus menghisap penisku. Dan tangan kanan kirinya sekarang menyusup di balik kemejaku, mengusap halus putingku. Segera saja aku melenguh keenakan. Aku tidak terlalu khawatir dengan suaraku karena ruang produksi di desain kedap suara. Perlahan aku mulai berani untuk bereaksi. Aku ulurkan tanganku untuk meraih kepalanya mencoba membelai rambutnya. Tapi ditepisnya tanganku. Akhirnya aku diam saja membiarkan Mbak Titis bermain dengan penisku. Payudaranya yang kecil menggesek pelan di kedua lutuntuku. Semakin lama Mbak Titis semakin cepat naik turun di penisku. Dan aku merasa ada sesuatu yang mau keluar. Kedua tanganku mencengkeram pegangan kursi.
“Mbak… Sshh… Sshh… Mau kkeluar Mbak…”, kataku setengah mendesis.
Mbak Titis terus saja menghisap penisku. Sampai suatu saat aku tidak dapat lagi menahan dan muncratlah air maniku.
“Mbak… Sshh… Sshh… Mau kkeluar Mbak…”, kataku setengah mendesis.
Mbak Titis terus saja menghisap penisku. Sampai suatu saat aku tidak dapat lagi menahan dan muncratlah air maniku.
Crooottt… crooottt … sshhh… ahhhh…
Pantatku sampai terangkat dr kursi karena kenikmatan. Banyak sekali mani yang kukeluarkan. Emang udah lama gak kukeluarin sih… Sekalinya keluar di mulutnya Mbak Titis. Gimana ga banyak coba… Kulihat Mbak Titis masih tetap mengulum penisku dan menghisap semua mani yang ku keluarkan.
“Oh Mbak… Enak banget”, desisku lagi. Mbak Titis menjilati penisku sampai bersih. Rasanya geli banget. Setelah bersih, Mbak Titis berdiri dan melepas headphoneku. “Nanti kalo dah selesai beres2 jangan lupa taro kuncinya di rumah ya”, bisiknya.
“Oh Mbak… Enak banget”, desisku lagi. Mbak Titis menjilati penisku sampai bersih. Rasanya geli banget. Setelah bersih, Mbak Titis berdiri dan melepas headphoneku. “Nanti kalo dah selesai beres2 jangan lupa taro kuncinya di rumah ya”, bisiknya.
Aku hanya mengangguk pelan belum pulih dari kenikmatanku. Setelah Mbak Titis keluar dr ruanganku aku segera membereskan celanaku. Tanpa sempat mikir aku segera membereskan ruangan dan berjalan menuju ruang siar karena Rani pun sudah selesai siaran.
“Halo mas, loh mukanya kok merah gitu”, sapa Rani sambil membereskan form request di meja.
“Hehehe… panas banget nih… AC ruang produksi lagi macet”, jawabku sambil pura-pura membereskan mik. Padahal aku grogi setengah mati takut ketauan boongnya.
“Oh… Ya udah mas. Aku balik dulu ya”, kata Rani.
“Iya deh. Ati-ati ya…”, sahuntuku cepat berharap Rani segera pulang.
Setelah, mematikan semua komputer dan lampu, segera ku kunci semua ruangan. Setelah itu aku naik ke lantai 2 untuk mematikan pemancar dan menyerahkan kunci studio. Ketika akan menyerahkan kunci studio, aku baru ingat kalo yang akan menerima kunci nanti adalah ibu Titis alias Mbak Titis. Karuan aja aku jadi deg-degan…
“Halo mas, loh mukanya kok merah gitu”, sapa Rani sambil membereskan form request di meja.
“Hehehe… panas banget nih… AC ruang produksi lagi macet”, jawabku sambil pura-pura membereskan mik. Padahal aku grogi setengah mati takut ketauan boongnya.
“Oh… Ya udah mas. Aku balik dulu ya”, kata Rani.
“Iya deh. Ati-ati ya…”, sahuntuku cepat berharap Rani segera pulang.
Setelah, mematikan semua komputer dan lampu, segera ku kunci semua ruangan. Setelah itu aku naik ke lantai 2 untuk mematikan pemancar dan menyerahkan kunci studio. Ketika akan menyerahkan kunci studio, aku baru ingat kalo yang akan menerima kunci nanti adalah ibu Titis alias Mbak Titis. Karuan aja aku jadi deg-degan…
“Gerbang depan udah di kunci, mas”, sebuah suara membuyarkan lamunanku.
“Belum Mbak”, jawabku setengah berteriak. Celingukan aku mencari sumber suara. Rupanya Mbak Titis sudah tau kehadiranku.
“Dikunci dulu, trus ntar kuncinya bawa ke sini ya, mas!”
Sesaat aku bingung sambil berjalan turun menuju pintu gerbang. Pikiran kotor menyerbu otakku. Siapa tau Mbak Titis minta ditemenin. Wah, pucuk dicinta ulam pun tiba neehhh… Bergegas aku mengunci pintu gerbang dan naik lagi menyerahkan kunci.
“Belum Mbak”, jawabku setengah berteriak. Celingukan aku mencari sumber suara. Rupanya Mbak Titis sudah tau kehadiranku.
“Dikunci dulu, trus ntar kuncinya bawa ke sini ya, mas!”
Sesaat aku bingung sambil berjalan turun menuju pintu gerbang. Pikiran kotor menyerbu otakku. Siapa tau Mbak Titis minta ditemenin. Wah, pucuk dicinta ulam pun tiba neehhh… Bergegas aku mengunci pintu gerbang dan naik lagi menyerahkan kunci.
0 comments:
Post a Comment